Percakapan Meja Makan

M. Shacrul Fahrezi
1 min readMay 4, 2024

--

https://id.pinterest.com/pin/169377635965577785/

Kubayangkan sebuah percakapan di meja makan.
Hari itu Sabtu malam, ketika Bapak baru saja pulang
dari membangun trotoar di tepi jalan.
Ibu menyusul langkahnya dari belakang.

Ia mengambil segelas air tepat ketika aku memandangnya heran
“Kapan pembangunan trotoar Bapak dan Ibu akan berakhir?”

Aku sedang mengaduk nasi ketika dia menepuk pundakku pelan
“Kau lahir di kerikil ke 97.000, Nak. Waktu itu, kami bukanlah tukang yang mahir”

Ke tengah meja, Ibu meletakkan semur ati amplea dengan kuah kehitaman
“Adikmu lahir ketika hujan. Hari itu seluruh jalanan digenangi air”

Aku menatap mata pasangan itu bergantian
“Iya, aku ingat. Aku berusia delapan ketika adik baru saja lahir”
Aku berhenti mengaduk nasi.
“Apakah saat itu kalian sudah mahir mengaduk semen dan mengangkat kerikil?”

“Belum. Sebab itulah kami tak akan pernah berhenti membangun”

Lalu Ibu beranjak menuju beranda dengan membawa buku favoritnya.
Bapak menyusul membawa sebuah radio yang dia tahu pasti tak akan lagi bisa menyala.

“Kapan kau akan mulai membangun trotoarmu?” Bapak berdiri di ambang pintu. Suaranya setengah berbisik. Seolah Ia tak ingin Ibu mendengar percakapan ini.

“Aku kehilangan segala yang kuperlukan untuk memulainya” Jawabku.

Sebelum Bapak hilang ditelan lampu taman dan cahaya bulan, aku melempar sebuah pertanyaan. “Kapan bapak akan sadar kalau radio itu sudah tak lagi bisa didengar?”

--

--

No responses yet